67 research outputs found
Pharmacy Students Learning Styles and Preferences toward Teaching Methods in Learning Pharmaceutical Care Concept
The paradigm concerning the role of pharmacist has shifted from supplying drugs to providing pharmaceutical care services.1 Pharmacy faculties have responsibility to develop a curriculum that enables pharmacy students to provide pharmaceutical care services. Pharmaceutical care is provided by identifying, solving and preventing drug-related problems in patients.2 There is a need to use alternative teaching methods to aid the students develop abilities for providing pharmaceutical care. Some research has demonstrated an association between preference toward certain teaching methods and individual s learning style.3 Learning style is the process by which an individual obtains their knowledge or skills.4 Understanding pharmacy students learning style will support educators to facilitate learning process by applying appropriate teaching methods.
The purpose of the study was to describe pharmacy students learning style and preferences toward some teaching methods in learning Pharmaceutical Care Concept.
The study was a survey using questionnaire that consisted of two parts. Part one was Kolb s Learning Style Inventory to assess students learning styles and second part were statements of four teaching methods to know students preferences. The questionnaire was given to 4th year pharmacy students registered in Clinical Pharmacy II course. In Clinical Pharmacy II course students were taught to identify and solve drug-related problems as a component of pharmaceutical care services. After completed the questionnaire, students were asked to choose their preferences toward four teaching methods.
The study surveyed 63 pharmacy students. There were 11 incomplete questionnaires excluded from analysis. The characteristic of students surveyed is described in Table I. The students’ learning styles and preferences are described in Table II. Of the 52 students, the largest group was Assimilators (52%). The remaining students were divided among other three learning styles (23% Divergers, 21% Convergers, and 4% Accommodators). All Accommodator preferred case study as their teaching method. Lecturing was the most preferred teaching method for Divergers and Assimilators, while most Convergers prefered case study as their teaching method. Of all teaching methods, the most preferred was lecturing
Challenges in the use of preventive cardiovascular medications in Indonesia and the Netherlands
Although cardiovascular disease (CVD) is no longer the primary burden in the Netherlands, it is still the main cause of death in Indonesia. Optimal use of preventive cardiovascular (CV) medications plays an important role in CVD prevention. While the use of these medications has been advocated through clinical guidelines and the role of the primary health care sector in the Netherlands, there is a lack of clarity in how this strategy has been applied in Indonesia. This thesis aimed to address the challenges in using and effects of these medications in both countries. Ina systematic review, we found a different pattern of long-term risk and risk factors of CVD between both countries. We conducted several cohort studies using Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry (Indonesia) and the PharmLines Initiative database (the Netherlands). An association between adherence to guideline-recommended medications and risk reduction of in-hospital death was observed in Indonesian patients with high-risk of CVD. The predictors of suboptimal use of preventive medications in these patients were described. A small qualitative study revealed that the new National Health Insurance System influenced the use of statins, one of the preventive CV medications in Indonesia. In the Netherlands, statins may exert different lipid parameter response between men and women. Further studies on sex disparities in the effect of statins is needed in the Netherlands with inclusion of variables like patient adherence and dose regimen. The primary care role to optimize the use of preventive medications in Indonesia needs to be enhanced
Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Meskipun secara awam GERD mungkin
terkesan “penyakit ringan” karena “hanya”
menimbulkan gejala refluks, GERD perlu
ditangani dengan tepat karena gejala
tersebut dapat sangat mengganggu sehingga
menurunkan kualitas hidup penderitanya.
Suatu kajian sistematis dari 19 penelitian
(n = 55.834 pasien GERD) menunjukkan
bahwa frekuensi dan keparahan gejala GERD
dapat mempengaruhi produktivitas kerja,
menurunkan kualitas tidur di malam hari,
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental,
serta kondisi kesehatan tubuh secara
umum.1 Berdasarkan hasil pemeriksaan
endoskopi, kondisi GERD dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu gejala refluks tanpa adanya
inflamasi atau erosi pada mukosa esofagus
(endoscopy-negative reflux disease/ENRD
atau non-erosive reflux disease/NERD) dan
gejala refluks disertai inflamasi atau erosi
pada mukosa esofagus (esofagitis atau
erosive reflux disease/ERD).2 Penatalaksanaan
GERD perlu disesuaikan dengan kondisi
pasien secara individual karena bervariasinya
frekuensi dan tingkat keparahan gejala.1-4
Tujuan penatalaksanaan GERD adalah
mengurangi atau menghilangkan gejala
refluks,2,3 mengurangi kekambuhan atau
lama penyakit GERD, mempercepat
penyembuhan mukosa esofagus,2 serta
mencegah komplikasi,2,3 seperti striktur
(penyempitan) esofagus, esofagus Barret,
dan kanker esofagus.3 Penatalaksanaan
GERD terdiri dari penatalaksanaan tanpa
obat (nonfarmakologi) dan dengan obat
(farmakologi).3-
Apixaban: Antikoagulan Oral Baru Penghambat Spesifik Faktor Xa
Apixaban adalah antikoagulan oral yang baru
memperoleh persetujuan dari FDA pada tahun 2012.
Mekanisme kerja apixaban sama dengan rivaroxaban,
yaitu secara langsung menghambat faktor Xa, yang
merupakan salah satu faktor koagulasi sehingga
menghambat pembekuan darah.
Apixaban termasuk dalam golongan antikoagulan oral
baru bersama dengan rivaroxaban dan dabigatran,
sebagai alternatif warfarin.
Indikasi apixaban adalah untuk mencegah
tromboemboli vena pasca operasi penggantian lutut
atau panggul, serta mencegah tromboemboli stroke
pada kondisi fibrilasi atrial non valvular.
Meta-analisis membuktikan apixaban efektif dalam
mencegah tromboemboli vena dan kematian pasca
operasi penggantian panggul atau lutut dibandingkan
enoksaparin.
Penelitian acak terkontrol membuktikan apixaban
mengurangi: 1) kejadian stroke hemoragik, dan
2) kejadian stroke atau emboli sistemik per tahun pada
pasien fibrilasi atrial dibandingkan warfarin atau aspirin.
Meskipun demikian, harga apixaban untuk indikasi
fibrilasi lebih mahal dibandingkan antikoagulan oral
lainnya untuk indikasi yang sama
Penatalaksanaan Jangka Panjang Sindroma Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST
Pasca seseorang mengalami sindroma
koroner akut tanpa elevasi segmen ST (yang
tampak pada hasil pemeriksaan
elektrokardiografi), baik angina tidak stabil
(unstable angina, UA) atau infark miokard
(non-ST-elevation myocardial infarction,
NSTEMI), pasien perlu memperoleh
penatalaksanaan jangka panjang.1,2
Penatalaksanaan jangka panjang ini penting
karena jumlah kejadian iskemik terus
meningkat pada pasien setelah serangan
akut.1 Suatu penelitian kohort menunjukkan
bahwa dari 16.321 pasien yang mengalami
serangan sindroma koroner akut untuk
pertama kalinya, sebanyak 21% masuk
rumah sakit kembali minimum 1 kali dalam jangka waktu 1 tahun karena kejadian
iskemik.3 Tujuan penatalaksanaan jangka
panjang adalah untuk mencegah terjadinya
serangan ulangan dan memperpanjang
harapan hidup pasien, sehingga
penatalaksanaan ini seringkali dikenal juga
dengan istilah pencegahan sekunder
(secondary prevention).1,2
Beberapa rekomendasi penatalaksanaan
jangka panjang yang terbukti bermanfaat bagi
pasien setelah pulih dari serangan sindroma
koroner akut antara lain: pengendalian faktor
risiko dan pemberian obat-obat yang
efikasinya sudah terbukti, yaitu: aspirin,
penghambat reseptor P2Y12, penyekat (beta
bloker), statin, penghambat enzim pengubah angiotensin (angiotensin converting enzyme
inhibitors, ACEIs) atau penghambat reseptor
angiotensin (angiotensin receptor blockers,
ARBs), dan penghambat aldosteron.1,2 Target
dan intervensi untuk mengendalikan faktor
risiko diberikan di tabel 1; sedangkan
keterangan dan bukti terkait pemberian obatobat
tersebut diberikan di tabel 2.
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan
jangka panjang menjadi isu yang penting
untuk tercapainya tujuan terapi. Keterlibatan
pasien dalam program-program pencegahan
sekunder atau rehabilitasi jantung dapat
meningkatkan kepatuhan pasien
Penggunaan Statin Sampai Mencapai Target Kolesterol Tertentu: Apakah Masih Relevan?
Baru-baru ini, pada bulan November
2013, American College of Cardiology/
American Heart Association (ACC/AHA)
meluncurkan pedoman terbaru mengenai
pengobatan kolesterol untuk mengurangi risiko
kardiovaskular aterosklerotik pada orang
dewasa. Yang termasuk penyakit kardiovaskular
aterosklerotik antara lain: sindroma koroner
akut, riwayat infark miokard, angina stabil atau
tidak stabil, revaskularisasi koroner atau arteri
lainnya, stroke, transient ischemic attack (TIA),
atau penyakit arteri perifer akibat
aterosklerosis.1 Berbeda dengan pedomanpedoman
terapi sebelumnya,2,3 pedoman ini
tidak merekomendasikan nilai target tertentu
yang harus dicapai dalam pengobatan kolesterol
menggunakan statin, padahal penetapan nilai
kolesterol LDL (<100 mg/dL atau <70 mg/dL)
sebagai target terapi penyakit kardiovaskular
telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun.1
Terdapat 3 faktor yang menyebabkan
perubahan tersebut, antara lain: 1) belum
ditemukannya penelitian yang khusus
mengidentifikasi atau membandingkan nilai
target LDL kolesterol tertentu dalam memperbaiki outcome penyakit kardiovaskular,
2) tidak diketahui seberapa besar tambahan
manfaat penurunan risiko kardiovaskular bila
target kolesterol diturunkan lebih rendah
daripada nilai target lainnya, dan 3) penelitian
yang ada belum mempertimbangkan risiko
reaksi obat yang tidak dikehendaki yang bisa
saja terjadi akibat penggunaan lebih banyak
obat untuk mencapai nilai target kolesterol
tertentu. 1
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, tidak
ada rekomendasi yang dibuat terkait dengan
nilai target kolesterol tertentu. Rekomendasi
yang ada adalah untuk pencegahan sekunder,
dianjurkan menggunakan statin intensitas tinggi
pada pasien berusia 75 tahun dengan
penyakit kardiovaskular aterosklerotik; statin
intensitas sedang bisa digunakan bila ada
kontraindikasi atau risiko reaksi obat yang tidak
dikehendaki. Untuk pencegahan primer,
direkomendasikan menggunakan statin
intensitas tinggi pada individu dewasa berusia
21 tahun dan kolesterol LDL-nya 190 mg/
dL; statin intensitas sedang dianjurkan untuk
pasien diabetes berusia 40-75 tahun dan kolesterol LDL 70-189 mg/dL. Statin intensitas
tinggi sampai sedang direkomendasikan untuk
pencegahan primer pada individu berusia 40-
75 tahun dengan risiko penyakit kardiovaskular
aterosklerotik 10 tahun mendatang 7,5%,
meskipun tidak menderita diabetes ataupun
penyakit kardiovaskular aterosklerotik lainnya.
Terapi statin berdasarkan intensitasnya
diberikan pada Tabel 1.1
Untuk penerapan di Indonesia, masih
diperlukan penelitian untuk melihat apakah
dosis statin yang digunakan saat ini sudah
cukup efektif atau memang perlu mencapai
dosis setinggi pada terapi intensitas tinggi
mengingat risiko reaksi obat yang tidak
dikehendaki dari statin juga meningkat pada
dosis yang semakin tinggi
Terapi Farmakologi Infertilitas pada Wanita
Fertilitas didefinisikan sebagai
kemampuan bereproduksi atau keadaan
subur;1,2 sedangkan infertilitas didefinisikan
sebagai ketidakmampuan untuk hamil
(tanpa melihat penyebabnya), meskipun
sudah teratur berhubungan seksual tanpa
menggunakan metode kontrasepsi apapun
selama 1 tahun.1,3,4 Istilah infertilitas bukan
berarti tidak mampu menghasilkan
keturunan seperti halnya sterilitas,2 tetapi
dapat diartikan sebagai subfertilitas, yaitu
berkurangnya fertilitas dalam kurun waktu
tertentu namun masih ada kesempatan
untuk terjadinya kehamilan.5,6
Secara umum infertilitas diterapi sesuai
dengan hasil evaluasi7 dan diagnosis dokter,1
lama pasangan mengalami kondisi tidak
mempunyai anak, usia kedua pasangan,1,7
serta kondisi kesehatan umum dan pilihan
kedua pasangan.7 Terapi infertilitas dapat
berupa terapi non obat dan terapi obat
(farmakologi). Terapi non obat terdiri dari
operasi, inseminasi buatan, atau Teknologi
Reproduksi Berbantu (assisted reproductive
technology, ART).4 Teknologi Reproduksi
Berbantu adalah upaya-upaya terapi untuk
menghasilkan kehamilan tanpa melibatkan
hubungan seksual.3 Beberapa upaya
tersebut antara lain: inseminasi intra uterin,3
fertilisasi in vitro,8 fertilisasi in vitro dengan
injeksi sperma intra sitoplasmik,3,8
penggunaan donor sperma atau donor sel
telur,3 dan pemindahan embrio.8 Terapi obat
antara lain menggunakan antiestrogen,
metformin, gonadotropin beserta analognya,
analog hormon pelepas gonadotropin, serta
dopamin agonis.4,7,9
Terapi obat sebagian besar digunakan
untuk mengobati infertilitas pada wanita
karena terapi obat kurang efektif dalam
mengatasi infertilitas pada pria, kecuali untuk
disfungsi ereksi.4,9 Berikut akan dipaparkan
terutama tentang obat-obat yang digunakan
untuk mengobati infertilitas pada wanita
Case-based learning and lecture in Clinical Pharmacy course seemed effective in achieving students’ learning objectives
To assess the effectiveness of case-based learning method used following lecture in achieving students’ learning objectives in Clinical Pharmacy course.
This was a pilot study from a group of 4th year pharmacy students (N=88) registered in first period of Clinical Pharmacy course for 2011-2012 odd semester. In general, the course’s learning objectives were students’ abilities to identify drug-related problems and to recommend an appropriate management for solving the problems in clinical case scenario. Lecture and case-based learning method were used to deliver topics such as typhoid, tuberculosis, and diabetes mellitus in order to achieve learning objectives in each topic. To assess students’ achievement, we developed a guide that scores their abilities in identifying and resolving the drug-related problems. Content validity of the guide was based on expert judgment achieved in discussion.
The goal was that at least 70% of the students participated in Clinical Pharmacy course would achieve passing score, i.e. 14 of maximum score 25. Using a scoring guide, 85,2% of students (75/88) achieved passing score. Students achieved score 25 were 4,5% (4/88). The lowest score was 4,2, gained by 1 student only. The mean score was 18,6.
Case-based learning and lecture in Clinical Pharmacy course seemed effective in achieving students’ learning objectives
PATIENTS’ EXPECTATION OF PHARMACEUTICAL CARE IN PUSKESMAS: A QUALITATIVE STUDY
For the last decade in Indonesia, pharmacist roles and responsibilities has been
more expanding from medication dispensing to patient-focused care services
(Pharmaceutical Care). This alteration consequently will affect pharmacist-patient
professional relationship, including interpersonal communication. To determine the
relationship, pharmacist and patient rely on role perceptions of one another, which
also form expectations of one another and influence the produced interaction.
The aim of study is to describe the patients’ expectation of pharmacist associated
with Pharmaceutical Care practice in Puskesmas.
We developed a semi-structure interview guide using a focus group of clinical
pharmacists. The interview guide was used to direct face-to-face patient interviews
at 5 different Puskesmas in East Java. The interviews were conducted in April and
May 2011, recorded and transcribed verbatim. The interview transcripts were
analysed to determine related themes.
Total 10 interviews were conducted. Several themes emerged from interview
transcripts were medicines services, medicines information, self-surrender, and
speedy health recovery.
The lack of patients’ understanding of pharmaceutical care services could be one
reason for the minimal patients’ expectation from pharmacist
- …